Tentang wewenang kehakiman
Tidak diperkenankan kehakiman dipaksakan
kecuali orang yang telah sempurna syarat-syarat padanya yang disahkan
kepengikutannya dan menjalankan keputusannya yaitu ada tujuh syarat:
Syarat Pertama; di antaranya harus seorang laki-laki, dan syarat ini mencakup dua sifat
yaitu bulugh (usia balig) dan dzukuriyah (lelaki), adapun bulugh karena yang
belum baligh tidak diwajibkan dan tidak tergantung perkataannya pada dirinya
sendiri suatu ketetapan maka apalagi ketetapan untuk orang lain. Adapun
perempuan maka karena kekurangan kaum wanita dalam tingkat kewenangannya,
meskipun ketetapan dapat tergantung pada perkataannya.
Abu Hanifah berpendapat:
perempuan boleh menghakimi pada perkara yang kesaksiannya dianggap sah, dan
tidak boleh menghakimi pada perkara yang kesaksiannya dianggap tidak sah.
Ibnu Jarir At
Thabari beda pendapat, menurutnya boleh perempuan menghakimi dalam segala
ketetapan, dan tidak dianggap pendapat yang ditolak oleh Ijma’ dengan firman
Allah Swt :
{ الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ } .
34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita)
Yakni dalam pemikiran dan pendapat, maka dalam
hal ini tidak boleh memimpin kaum laki-laki.
Syarat Kedua: (intelektual)
ialah yang telah disepakati keberadaannya dan tidak cukup sekedar pemikiran
yang beban kewajiban itu tergantung padanya melalui pengetahuannya dengan
pengindraan yang penting sehingga menjadi seleksi yang benar, kecerdasan yang baik
dan jauh dari kelupaan dan kelalaian yang mencapai – dengan kecerdasannya –
pada penjelasan setiap kerumitan dan pemecahan yang terbelenggu.
Syarat Ketiga: Kemerdekaan, karena kekurangan pada budak dari kewenangan dirinya
menghalangi terjadinya kewengan pada orang lain, karena kehambaan ketika
menghalangi diterimanya kesaksian maka terlebihlagi menghalanginya untuk
menerapkan ketetapan dan terjadinya kewenangan, begitu juga ketetapan pada
orang yang belum sempurna kemerdekaannya dari orang dari seorang mudabbar
(orang yang dapat merdeka setelah kematian tuannya) dan mukaatab (orang
yang dapat merdeka setelah sampai bisa menebus kemerdekaan dirinya) dan orang
setengah budak, dan perbudakan dirinya tidak menghalangi untuk berfatwa
sebagaimana perbudakan dirinya tidak menghalanginya untuk meriwayatkan dengan
tanpa wewenang dalam fatwa dan riwayat. Dan dibolehkan baginya setelah merdeka
untuk mengadili meskipun ia masih menanggung wala’ (pembebasan dari
seseorang) karena nasab tidak dianggap dalam wewenang putusan.
Syarat Keempat:
Islam, karena Islam adalah syarat dibolehkannya kesaksian dengan firman Allah
Swt:
`s9ur @yèøgs ª!$# tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y
dan
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman
Dan tidak boleh
orang kafir dipaksakan menghakimi terhadap orang-orang muslim dan tidak pula
terhadap orang-orang kafir.
Abu Hanifah
berpendapat boleh memaksakannya mengadili ditengah pemeluk agamanya, dan ini
kalau kebiasaan para pemimpin memaksakannya sudah berjalan yaitu memaksakan
kepemimpinan dan bukan pemaksaan kehakiman dan pengadilan, akan tetapi
keputusannya mengharuskan mereka karena pemaksaan mereka padanya bukan ia
memaksakan pada mereka, dan pemimpin menerima pendapatnya yang telah
diputuskannya di antara mereka.
Dan apabila
mereka menolak pengadilan mereka padanya kemudian mereka dipaksakan padanya,
maka ketetapan Islam terhadap mereka lebih patut dijalankan.
Syarat Kelima: ‘adalah
(keadilan) yaitu yang dianggap kredibel dalam segala wewenang dan ‘adalah:
haruslah jujur tutur katanya, jelas amanahnya, bersih dari segala yang haram,
terjaga dari dosa-dosa, jauh dari keraguan, terpercaya dalam kerelaan dan
kemarahan, menggunakan harga diri dalam agama dan dunianya, maka bila telah
terpenuhi ‘adalah pada dirinya yang membolehkan kesaksiannya dan mengesahkan
wewenangnya dengannya, namun jika terlepas salah satu sifatnya terlaranglah
kesaksiannya dan wewenangnya juga tidak didengar pendapatnya dan tidak
dijalankan keputusannya.
Syarat Keenam:
sempurna dalam pendengaran dan penglihatan agar dengan keduannya menjadi sah
penetapan hak-hak dan memisahkan antara penuntut dan yang dituntut, dan
membedakan antara yang mengaku dan yang mengingkari dan agar menjadi jelas
perbedaan baginya antara yang hak dan yang batil, dan diketahui yang
membenarkan dan yang menyalahkan, jika ia buta maka wewenangnya batal, sedang
Imam Malik membolehkannya sebagaimana ia membolhkan kesaksiannya, dan jika ia
tuli maka ada perbedaan pendapat seperti tersebut dalam masalah amanah; adapun
kesempurnaan anggota tubuh maka tidak dianggap masalah dalam hal ini meskipun
dianggap masalah dalam amanah, maka boleh menghakimi meskipun dengan duduk
karena lanjut usia, meskipun kesempurnaan dari segala aib lebih karismatik bagi
para pemilik kewenangan.
Syarat Ketujuh:
harus mengetahui hukum-hukum syar’iyyah, pengetahuannya mencakup pengetahuan
dasar-dasarnya dan mendalami cabang-cabangnya.
Dasar-dasar
hukum dalam syari’at ada empat: salah satunya mengetahui tentang Kitab
Allah Azza wa Jalla, dari sisi yang dapat membenarkan pengenalan apa yang
terkandung dalam hukum-hukumnya baik yang nasikh (penghapus) atau yang mansukh
(dihapus), baik yang muhkam (jelas) atau yang mutasyabih (samar), baik yang
umum atau yang khusus, baik yang global atau yang ditafsirkan.
Kedua: mengetahui
sunnah Rasulullah Saw yang pasti berupa sabda-sabdanya dan perbuatannya, dan
cara datangnya dalam tawatur (perawi yang banyak), aahaad, shahih, dan fasid
(rusak) nya, dan apa diriwayatkan karena sebab atau yang terlepas.
Ketiga:
mengetahui ta’wil orang salaf (terdahulu) pada apa yang mereka sepakati dan
yang mereka perselisihkan agar bisa mengikuti ijma’ dan berijtihad dengan
pendapatnya dalam permasalahan yang diperselisihkan.
Keempat:
mengetahui Qiyas yang mengharuskan pengembalian cabang-cabang yang tidak
tersebut (didiamkan) kepada aslinya yang diucapkan dan diijma’kan sehingga
mendapatkan jalan kepada pengetahuan hukum-hukum yang terjadi dan pemisahan
yang haq dari yang bathil, apabila pengetahuannya telah meliputi dasar-dasar
yang empat dalam hukum syari’at, ia menjadi pakar ijtihad dalam agama, dan
boleh baginya untuk berfatwa dan menghakimi, dan boleh baginya untuk meminta
fatwa dan meminta pengadilan, tapi jika ada sesuatu yang kurang darinya
keluarlah ia dari sebagai pakar ijtihad dan tidak boleh untuk berfatwa juga
tidak boleh mengadili.
Jika dipaksakan
mengadili lalu dia mengadili dengan benar atau salah, maka pemaksaannya
dianggap batal, dan keputusannya meskipun sesuai dengan kebenaran, maka
kebenarannya ditolak, dan masih ada sangksi tentang apa yang telah
diputuskannya, dan juga terhadap yang memaksanya memberi keputusan dan
pengadilan.
Abu Hanifah
memperbolehkan pemaksaan pengadilan pada orang yang bukan pakar ijtihad untuk
diminta fatwanya dalam hukum-hukumnya dan pengadilannya, dan yang dipegang oleh
para jumhur ulama bahwa wewenangnya batal tidak sah dan keputusannya ditolak,
dikarenakan pemaksaan dalam permasalahan cabang-cabang syari’at sangat penting,
dan tidak akan terlaksana kecuali bagi yang dipaksa kebenaran bukan yang
memaksanya.
Rasulullah Saw
telah menguji Mu’adz ketika beliau mengutusnya ke Yaman sebagai gubernur dia
berkata: dengan apa kamu mengadili? Ia berkata: dengan Kitab Allah, beliau
bersabda: jika kau tidak mendapatkannya? Ia menjawab : dengan sunnah
Rasulullah, Rasullah bersabda : Jika kau tidak mendapatkannya? Ia menjawab: aku
akan berijtihad menurut pendapatku, Rasulullah Saw bersabda: “Sagala puji bagi
Allah yang telah menunjukkan utusan Rasulullah dengan apa yang membuat ridho
RasulNya”.
Adapun wewenang
orang yang tidak berpendapat dengan khobar wahid (yang diriwayatkan orang
pertmanya satu orang) maka tidak boleh, karena yang meninggalkan yang asli yang
telah disepakati oleh para sahabat dan hukum-hukum syari’at yang kebanyakan
terambil maka ia menjadi seperti kedudukan orang yang berpendapat dengan
kekuatan ijma’ yang tidak boleh wewenangnya untuk menolak apa yang sudah
tertulis dalam nash.
Adapun para
penolak qiyas ada dua macam:
·
Di antara mereka ada yang menolaknya dan mengikuti dzhohir nash dan
mengambil pendapat para pendahulu mereka pada permasalahan yang belum ada
nashnya dan melempar ijtihad dan berpaling dari pemikiran dan kesimpulan, maka
tidak boleh memaksa mereka mengadili, karena keterbatasan mereka dari putusan
hukum terakhir.
·
Di antara mereka ada yang menolak qiyas tapi mereka berijtihad
dalam hukum-hukum dengan mengikat fahwa alkalam (konten pernyataan) dan
pemahaman khithob seperti kelompok ahlu adzhohir .
Kelompok Ashabu
as Syafi’i berselisih paham tentang dibolehkannya memaksa mereka menghakimi
dalam dua sisi: salah satunya tidak boleh karena makna yang tersebut tadi. Kedua:
boleh karena mereka menganggapnya sangat jelas maknanya meskipun mereka
berpaling dari qiyas yang samar, maka bila telah pasti apa yang kita sifatkan
dalam syarat-syarat yang dianggap dalam wewenang kehakiman, maka tidak boleh
memberi wewenang kecuali setelah mengetahui yang disepakati di dalamnya; baik
dengan mengetahui dulu maupun dengan pengujian dan permasalahan.
Rasulullah Saw,
telah memaksa Ali menangani peradilan di Yaman dan tidak mengujinya, karena
beliau mengetahui kapasitas Ali, akan tetapi beliau menasehatinya sebagai
pengingat dari sisi kehakiman lalu beliau bersabda : “apabila datang dua orang
yang bertengkar di hadapanmu maka janganlah kau memutuskan salah satunya
sehingga engkau mendengar pernyataan yang lainnya”. Lalu Ali As berkata maka
tidak ada kesulitan lagi sesudahnya, dan beliau mengutus Muadz ke tempat lain
di Yaman dan beliau Saw mengujinya.
الكتاب : الأحكام السلطانية
المؤلف : الماوردي
أبو بكر خلف بن عطاء بن أبي عاصم الماوردي
النجار من أهل هراة.
سمع أبا عمر عبد الواحد بن أحمد المليحي.
كتب إليّ الإجازة. وكانت ولادته سنة نيف وخمسين وأربعمئة إن شاء الله، ووفاته سنة ست
وثلاثين وخمسمئة.
مصدر الكتاب : موقع الإسلام
Tidak ada komentar:
Posting Komentar