Muhamad



Tentang wewenang kehakiman
Tidak diperkenankan kehakiman dipaksakan kecuali orang yang telah sempurna syarat-syarat padanya yang disahkan kepengikutannya dan menjalankan keputusannya yaitu ada tujuh syarat:
Syarat Pertama; di antaranya harus seorang laki-laki, dan syarat ini mencakup dua sifat yaitu bulugh (usia balig) dan dzukuriyah (lelaki), adapun bulugh karena yang belum baligh tidak diwajibkan dan tidak tergantung perkataannya pada dirinya sendiri suatu ketetapan maka apalagi ketetapan untuk orang lain. Adapun perempuan maka karena kekurangan kaum wanita dalam tingkat kewenangannya, meskipun ketetapan dapat tergantung pada perkataannya.
Abu Hanifah berpendapat: perempuan boleh menghakimi pada perkara yang kesaksiannya dianggap sah, dan tidak boleh menghakimi pada perkara yang kesaksiannya dianggap tidak sah.
Ibnu Jarir At Thabari beda pendapat, menurutnya boleh perempuan menghakimi dalam segala ketetapan, dan tidak dianggap pendapat yang ditolak oleh Ijma’ dengan firman Allah Swt :
{ الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ } .
34.  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)
Yakni dalam pemikiran dan pendapat, maka dalam hal ini tidak boleh memimpin kaum laki-laki.
Syarat Kedua: (intelektual) ialah yang telah disepakati keberadaannya dan tidak cukup sekedar pemikiran yang beban kewajiban itu tergantung padanya melalui pengetahuannya dengan pengindraan yang penting sehingga menjadi seleksi yang benar, kecerdasan yang baik dan jauh dari kelupaan dan kelalaian yang mencapai – dengan kecerdasannya – pada penjelasan setiap kerumitan dan pemecahan yang terbelenggu.
Syarat Ketiga: Kemerdekaan, karena kekurangan pada budak dari kewenangan dirinya menghalangi terjadinya kewengan pada orang lain, karena kehambaan ketika menghalangi diterimanya kesaksian maka terlebihlagi menghalanginya untuk menerapkan ketetapan dan terjadinya kewenangan, begitu juga ketetapan pada orang yang belum sempurna kemerdekaannya dari orang dari seorang mudabbar (orang yang dapat merdeka setelah kematian tuannya) dan mukaatab (orang yang dapat merdeka setelah sampai bisa menebus kemerdekaan dirinya) dan orang setengah budak, dan perbudakan dirinya tidak menghalangi untuk berfatwa sebagaimana perbudakan dirinya tidak menghalanginya untuk meriwayatkan dengan tanpa wewenang dalam fatwa dan riwayat. Dan dibolehkan baginya setelah merdeka untuk mengadili meskipun ia masih menanggung wala’ (pembebasan dari seseorang) karena nasab tidak dianggap dalam wewenang putusan.
Syarat Keempat: Islam, karena Islam adalah syarat dibolehkannya kesaksian dengan firman Allah Swt:
`s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman
Dan tidak boleh orang kafir dipaksakan menghakimi terhadap orang-orang muslim dan tidak pula terhadap orang-orang kafir.
Abu Hanifah berpendapat boleh memaksakannya mengadili ditengah pemeluk agamanya, dan ini kalau kebiasaan para pemimpin memaksakannya sudah berjalan yaitu memaksakan kepemimpinan dan bukan pemaksaan kehakiman dan pengadilan, akan tetapi keputusannya mengharuskan mereka karena pemaksaan mereka padanya bukan ia memaksakan pada mereka, dan pemimpin menerima pendapatnya yang telah diputuskannya di antara mereka.
Dan apabila mereka menolak pengadilan mereka padanya kemudian mereka dipaksakan padanya, maka ketetapan Islam terhadap mereka lebih patut dijalankan.
Syarat Kelima: ‘adalah (keadilan) yaitu yang dianggap kredibel dalam segala wewenang dan ‘adalah: haruslah jujur tutur katanya, jelas amanahnya, bersih dari segala yang haram, terjaga dari dosa-dosa, jauh dari keraguan, terpercaya dalam kerelaan dan kemarahan, menggunakan harga diri dalam agama dan dunianya, maka bila telah terpenuhi ‘adalah pada dirinya yang membolehkan kesaksiannya dan mengesahkan wewenangnya dengannya, namun jika terlepas salah satu sifatnya terlaranglah kesaksiannya dan wewenangnya juga tidak didengar pendapatnya dan tidak dijalankan keputusannya.
Syarat Keenam: sempurna dalam pendengaran dan penglihatan agar dengan keduannya menjadi sah penetapan hak-hak dan memisahkan antara penuntut dan yang dituntut, dan membedakan antara yang mengaku dan yang mengingkari dan agar menjadi jelas perbedaan baginya antara yang hak dan yang batil, dan diketahui yang membenarkan dan yang menyalahkan, jika ia buta maka wewenangnya batal, sedang Imam Malik membolehkannya sebagaimana ia membolhkan kesaksiannya, dan jika ia tuli maka ada perbedaan pendapat seperti tersebut dalam masalah amanah; adapun kesempurnaan anggota tubuh maka tidak dianggap masalah dalam hal ini meskipun dianggap masalah dalam amanah, maka boleh menghakimi meskipun dengan duduk karena lanjut usia, meskipun kesempurnaan dari segala aib lebih karismatik bagi para pemilik kewenangan.
Syarat Ketujuh: harus mengetahui hukum-hukum syar’iyyah, pengetahuannya mencakup pengetahuan dasar-dasarnya dan mendalami cabang-cabangnya.
Dasar-dasar hukum dalam syari’at ada empat: salah satunya mengetahui tentang Kitab Allah Azza wa Jalla, dari sisi yang dapat membenarkan pengenalan apa yang terkandung dalam hukum-hukumnya baik yang nasikh (penghapus) atau yang mansukh (dihapus), baik yang muhkam (jelas) atau yang mutasyabih (samar), baik yang umum atau yang khusus, baik yang global atau yang ditafsirkan.
Kedua: mengetahui sunnah Rasulullah Saw yang pasti berupa sabda-sabdanya dan perbuatannya, dan cara datangnya dalam tawatur (perawi yang banyak), aahaad, shahih, dan fasid (rusak) nya, dan apa diriwayatkan karena sebab atau yang terlepas.
Ketiga: mengetahui ta’wil orang salaf (terdahulu) pada apa yang mereka sepakati dan yang mereka perselisihkan agar bisa mengikuti ijma’ dan berijtihad dengan pendapatnya dalam permasalahan yang diperselisihkan.
Keempat: mengetahui Qiyas yang mengharuskan pengembalian cabang-cabang yang tidak tersebut (didiamkan) kepada aslinya yang diucapkan dan diijma’kan sehingga mendapatkan jalan kepada pengetahuan hukum-hukum yang terjadi dan pemisahan yang haq dari yang bathil, apabila pengetahuannya telah meliputi dasar-dasar yang empat dalam hukum syari’at, ia menjadi pakar ijtihad dalam agama, dan boleh baginya untuk berfatwa dan menghakimi, dan boleh baginya untuk meminta fatwa dan meminta pengadilan, tapi jika ada sesuatu yang kurang darinya keluarlah ia dari sebagai pakar ijtihad dan tidak boleh untuk berfatwa juga tidak boleh mengadili.
Jika dipaksakan mengadili lalu dia mengadili dengan benar atau salah, maka pemaksaannya dianggap batal, dan keputusannya meskipun sesuai dengan kebenaran, maka kebenarannya ditolak, dan masih ada sangksi tentang apa yang telah diputuskannya, dan juga terhadap yang memaksanya memberi keputusan dan pengadilan.
Abu Hanifah memperbolehkan pemaksaan pengadilan pada orang yang bukan pakar ijtihad untuk diminta fatwanya dalam hukum-hukumnya dan pengadilannya, dan yang dipegang oleh para jumhur ulama bahwa wewenangnya batal tidak sah dan keputusannya ditolak, dikarenakan pemaksaan dalam permasalahan cabang-cabang syari’at sangat penting, dan tidak akan terlaksana kecuali bagi yang dipaksa kebenaran bukan yang memaksanya.
Rasulullah Saw telah menguji Mu’adz ketika beliau mengutusnya ke Yaman sebagai gubernur dia berkata: dengan apa kamu mengadili? Ia berkata: dengan Kitab Allah, beliau bersabda: jika kau tidak mendapatkannya? Ia menjawab : dengan sunnah Rasulullah, Rasullah bersabda : Jika kau tidak mendapatkannya? Ia menjawab: aku akan berijtihad menurut pendapatku, Rasulullah Saw bersabda: “Sagala puji bagi Allah yang telah menunjukkan utusan Rasulullah dengan apa yang membuat ridho RasulNya”.
Adapun wewenang orang yang tidak berpendapat dengan khobar wahid (yang diriwayatkan orang pertmanya satu orang) maka tidak boleh, karena yang meninggalkan yang asli yang telah disepakati oleh para sahabat dan hukum-hukum syari’at yang kebanyakan terambil maka ia menjadi seperti kedudukan orang yang berpendapat dengan kekuatan ijma’ yang tidak boleh wewenangnya untuk menolak apa yang sudah tertulis dalam nash.
Adapun para penolak qiyas ada dua macam:
·         Di antara mereka ada yang menolaknya dan mengikuti dzhohir nash dan mengambil pendapat para pendahulu mereka pada permasalahan yang belum ada nashnya dan melempar ijtihad dan berpaling dari pemikiran dan kesimpulan, maka tidak boleh memaksa mereka mengadili, karena keterbatasan mereka dari putusan hukum terakhir.
·         Di antara mereka ada yang menolak qiyas tapi mereka berijtihad dalam hukum-hukum dengan mengikat fahwa alkalam (konten pernyataan) dan pemahaman khithob seperti kelompok ahlu adzhohir .
Kelompok Ashabu as Syafi’i berselisih paham tentang dibolehkannya memaksa mereka menghakimi dalam dua sisi: salah satunya tidak boleh karena makna yang tersebut tadi. Kedua: boleh karena mereka menganggapnya sangat jelas maknanya meskipun mereka berpaling dari qiyas yang samar, maka bila telah pasti apa yang kita sifatkan dalam syarat-syarat yang dianggap dalam wewenang kehakiman, maka tidak boleh memberi wewenang kecuali setelah mengetahui yang disepakati di dalamnya; baik dengan mengetahui dulu maupun dengan pengujian dan permasalahan.
Rasulullah Saw, telah memaksa Ali menangani peradilan di Yaman dan tidak mengujinya, karena beliau mengetahui kapasitas Ali, akan tetapi beliau menasehatinya sebagai pengingat dari sisi kehakiman lalu beliau bersabda : “apabila datang dua orang yang bertengkar di hadapanmu maka janganlah kau memutuskan salah satunya sehingga engkau mendengar pernyataan yang lainnya”. Lalu Ali As berkata maka tidak ada kesulitan lagi sesudahnya, dan beliau mengutus Muadz ke tempat lain di Yaman dan beliau Saw mengujinya.
الكتاب : الأحكام السلطانية
المؤلف : الماوردي
أبو بكر خلف بن عطاء بن أبي عاصم الماوردي النجار من أهل هراة.
سمع أبا عمر عبد الواحد بن أحمد المليحي. كتب إليّ الإجازة. وكانت ولادته سنة نيف وخمسين وأربعمئة إن شاء الله، ووفاته سنة ست وثلاثين وخمسمئة.
مصدر الكتاب : موقع الإسلام

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Komentar