Jumat, 14 Desember 2012

habib lutfi : karomah wali

“Karomah wali” bagian materi yang disampaikan oleh Habib lutfi dalam peringatan khaul Syaikh Abu Hasan Ali al-Syadlili di Desa Pajomblangan Kedungwuni.
Karomah yang dalam bahasa jawa disebut “keramat”,atau dalam istilah lain mukjizat,( pemakaian kata mukjizat ini aviliasinya lebih ke para Nabi maupun Rasul), sering disalah artikan. Banyak yang mengaviliasikan karomah ke suatu hal yang bersifat mistis, aneh, dan irasional. Status kewalian para wali yang hanya di pandang dari sudut bagamaiana seorang wali ini mampu melakukan hal-hal yang bersifat irasional tentunya bukanlah hal yang tepat, walupun keramat itu benar adanya, namun ini tidak bisa dijadikan justfikasi untuk membuktikan kewalian para wali. Karena menurut Abah Lutfi seorang wali itu bukan hanya seorang yang mampu mengeluarkan keramat saja,keramat itu keluar pada waktu-waktu tertentu dan ketika dibutuhkan, kalau tidak dibutuhkan ya tidak bisa keluar. Dari sini kita juga harus melihat bagaiamana seorang wali berjuang dan terutama memberi maslahah, memberi solusi terhadap permasalahan-permasalahan ummat dan lain –lain.
Wali yang dibutuhkan dewasa ini bukanlah wali yang hanya berkeramat itu tadi, namun lebih ke bagaimana wali mampu memberi maslahah li al-Ummat, sejauh mana wali mampu memberi perubahan baik di bidang ekonomi dan lain-lain. Syaikh Abu Hasan Ali al-Syadlili ketika umur tujuh tahun sudah mampu memberi perubahan terhadap perekonomian menjadi bukti akan hal itu, wali songo yang sudah meninggal yang sampai sekarang masih bisa memberi kehidupan para pedagang disamping makam-makamnya pun juga sebuah bukti nyata akan kewalian para wali.
Mari kita lihat Rasulullah sendiri,mukjizat terbesarnya adalah al-Qur’an, mengapa tidak sebagaimana nabi Musa yang mempunyai mukjizat membelah laut dengan tongkat, bagi nabi Isa yang mempunyai mukjizat menyembuhkan orang sakit lepra hanya semata-mata dengan menjamah.
Maka timbullah pertanya’an, mengapa mukjizat nabi Muhammad hanya al-Qur’an yang dibaca, atau satu kitab yang dipelajari, bukan sebagaimana mukjizat yang mengagumkan akal? Mengapa tidak sebagaimana yang ada pada nabi Musa, Mengapa tidak api yang tidak menghangusi nabi Ibrahim, atau sebagai nabi Isa yang menyembuhkan orang buta dan lepra itu.
Orang-orang musyrikin di Makkah dahulupun pernah meminta supaya Nabi Muhammad Saw. menunjukan suatu mukjizat, misalnya bukit shafa menjadi emas, atau beliau sendiri mempunyai sebuah rumah dari emas, dan beberapa permintaan yang lain.. Tetapi permintaan mereka tidak dikabulkan oleh Allah atau tidak memandang itu lebih penting dari mukjizat al-Qur’an. Beberapa hadits sahih yang telah diriwayatkan dari sahabat beliau, bahwa beliapun pernah mempertujukkan mukjizat yang aneh-aneh dan ganjil, misalnya keluar air yang diminum oleh 1200 orang dari dalam timba beliau yang kecil di Hudaybiyah, atau hujan lebat disekitar kemah tentara saja dan tidak turun di tempat lain sehingga semuanya dapat menampung air, yang banyakinya 30.000 orang dalam perjalaanan kepeperanga Tabuk dan bebrapa mukjizat yang lain. Tetapi mukjizat-mukjizat yang demikian tidaklah beliau jadikan tantangan kepada kaum musyrikin. Beliau menentang lawan hanya dengan mukjizat al-Qur’an. Dengan al-Qur’an beliau mengokohkan risalatnya dan dengan al-Qur’an belaiu menambah iman pengikut-pengikut belaiu, kaum yang beriman, sampai hari kiamat.Mukjizat seorang Rasul ataupun seorang nabi selalu disesuaikan Tuhan dengan zaman hiduap Rasul atau Nabi itu sndiri, dan harus sesuai pula dengan macam-ragam risalat yang dibawanya. Apabila risalatnya itu adalah risalat yan g nyata untuk seluruh manusia, yang kekal dan tidak akan berubah lagi sampai selama-lamanya, hedaklah mukjizatnya itu yang kekal dan merata pula, yang kian mendalam orang berfikir, kian mengakui akan mukjizat itu. Mukjizat sekali-kali tidak akan kekal, kalau dia hanya merupakan suatu kejadian yang dapat dilihat mata disuatu masa. Sebab apabila Rasul yang membawa mukjizat itu telah berpulang ke rahmatullah, mukjizat itu tidak akan bertemu lagi. Dan ada pula suatu kejadian yang dipandang mukjizat dizaman hidup nabi yang bersangkutan, namun setelah beberpa abad di belakang, mukjizat itu tidak ada lagi karena kemajuan ilmu pengetahuan. Sebab itu maka mukjizat yang diberikan kepada nabi Muhammad bukanlah mukjizat untuk dilihat mata dan panca indra (hissi), tetapi untuk dilihat hati dan meminta pemikiran (maknawi). Mukjizat hisi telah habis pengaruhnya dengan habis zamanya. Mukjizat Musa dan Isa hanya dilihat oleh manusia yang sezaman dengan beliau.
Sebagaimana mukjizat nabi Musa dan Isa yang sudah lapuk termakan zaman, begitu juga keramat wali dimasa sekarang ini. Mari, Jangan kita jadikan keramat sebagai patokan dalam menilai kewalian para wali, wilayah keramat dan tidaknya bukanlah kita yang menentukan.. Apalagi dizaman dimana ilmu pengetahuanlah yang akan menjawab segala permasalahan-permasalahan yang ada, karna wali yang dibutuhkan dewasa ini bukanlah wali yang demikian adanya, Rasul sendiri menghadapi tantangan kaum Musrikin dengan kemukjizatan al-Quran bukan yang lain, walaupun Rasul mampu.
Untuk itu mari kita tepis anggapan-anggapan yang mendeskreditkan tariqat/tasawuf, atau yang mengatakan bahwa bertasawuf/berthariqat berpotensi terhadap kemunduran atau stagnasi ilmu pengetahuan dengan hanya memandang sisi kewalian dari adanya keramat-keramat itu tadi. Bukti Syaikh Abu Hasan Ali as-Syadlili diatas merupakan bagian dari jawaban bahwa anggapan itu tidak tepat, belum bukti-bukti yang lain, seperti suksesnya pergerakan ekonomi berbasis masyarakat thariqah muridiyyah di Senegal, as-Syadliliyyah di Afrika Selatan dan lain-lain. Keberhasilan ulama-ulama tasawuf diatas merupakan bukti bahwa sebenarnya mereka disamping bertasawuf/berthariqat, mereka juga sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Habib Lutfi dalam setiap kesempatan pun selalu terus menerus mengajarkan tentang betapa pentingnya ilmu pengetahuan, beliau tidak pernah membatasi ilmu hanya terpatok pada ilmu agama saja. Kepada murid-muridnya beliau selalu mendukung mengenai ilmu yang dipelajari, baik itu terkait ilmu umum seperti kedokteran, pertanian,perekonomian dan lain-lain. Dibalik kemursyidan tahriqahnya beliau juga tidak terlepas dari tokoh/ulama yang punya tanggung jawab menuntun ummatnya dari hal ikhwal keduniaan menuju hal ikhwal keakhiratan.Wallahu A’lam..!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Komentar