Jumhur ulama berpendapat, bahwa sebuah pernikahan belum dianggap terlaksana, kecuali diumumkan secara terang-terangan.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa sebuah pernikahan belum dianggap
terlaksana, kecuali diumumkan secara terang-terangan. Atau belum sah,
kecuali para saksi yang hadir menyaksikan akad nikah yang dilangsungkan,
mes-kipun penyiarannya dilakukan dengan sarana yang lain. Akan tetapi
jika para saksi telah menyaksikan pelaksanaannya dan kedua mempelai
berpesan kepada mereka untuk merahasiakan akad pernikahan itu atau tidak
menyiarkannya, maka akad tersebut tetap dianggap sah. Sedangkan Imam
Malik dan para saha-batnya berpendapat, bahwa mengumumkan sebuah
pernikahan (secara meluas) bukanlah suatu hal yang wajib. Akan tetapi,
cukup hanya dengan menyatakan-nya saja (kepada orang-orang yang
terdekat).
Dalam hal ini mereka beralasan, bahwa jual-beli yang di dalamnya
dise-butkan nama Allah, maka harus menyertakan adanya saksi dari pihak
lain ke¬tib berlangsungnya transaksi (yang menguatkan bukti terjadinya
transaksi terse-but). Namun, ada juga dalil yang menunjukkan, bahwa
penampakan tersebut bukanlah sebagai kewajiban di dalam jual-beli.
Begitu pula dengan pernikahan yang di dalamnya Allah Subhanahu wa Ta
’ala tidak menyebutkan keharusan adanya pengumuman secara meluas ketika
akad sedang berlangsung, sebagai syarat atau kewajiban. Karena, maksud
dari pengumuman dan penampakan itu sebenarnya adalah untuk menjaga
keberlangsungan dari keturunan yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.
Adapun tindakan pengumuman sebuah pernikahan tetap dibenarkan sete-lah
terlaksana akad, yaitu untuk mengklarifikasi perbedaan yang terjadi
antara kedua mempelai. Jika akad nikah dilaksanakan dan tidak dihadiri
oieh banyak saksi, lalu mereka juga ikut bers aksi sebelum kedua
mempelai melakukan hubung¬an badan, maka akad nikah tersebut tetap sah.
Akan tetapi, jika telah melakukan hubungan badan, sedangkan para saksi
belum menyaksikan akad nikah, maka keduanya harus dipisahkan
(pernikahannya tidak dapat dianggap sah).
Sebuah pernikahan tidak sah, kecuali dengan dihadirkannya beberapa
saksi, demikian menurut penclapat para ulama. Tidak ada perbedaan di
antara para ulama terdahulu mengenai hal tersebut, kecuali sekelompok
ulama dari kalangan mutaakhirin (yang hidup belakangan). Selain itu,
hadirnya saksi ber-kaitan dengan hak dari kedua mempelai, utamanya
mengenai keturunan atau anak, sehingga hal itu disyaratkan dalam akad
nikah. Dengan maksud, agar
sang ayah tidak mengingkari anak yang nantinya dilahirkan dari hubungan
perni¬kahan tersebut, sehingga terpelihara keutuhan dari keturunannya.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa akad nikah tetap sah tanpa adanya
saksi. Di antaranya adalah ulama Syi’ah seperti Abdurrahman bin Mahdi,
Yazic binHarun, Ibnu Mundzir, Dawuddanhal ini pernah dikerjakan oleh
IbnuUma: dan Ibnu Zubair. Diriwayatkan dari Hasan bin Ali, bahwa ia
pernah menikah tanpa adanya saksi. Akan tetapi, kemudian ia mengumumkan
pernikahannya itu. Adapun mengenai adanya dua saksi dalam suatu
pernikahan tidak ditetap¬kan dalam hadits, demikian menurut Ibnu
Mundzir.
Sedangkan Yazid bin Harun mengatakan: "Allah memerintahkanadanya saksi
dalam jual-beli saja dan tidak pada pernikahan. Sementara Ashabum’y.
mensyaratkan adanya saksi dalam pernikahan dan tidak mensyaratkannya 4
dalam jual-beli. Jika suatu akad nikah dilaksanakan secara diam-diam dan
penye¬lenggara berpesan agar tidak diumumkan, maka pernikahan itu tetap
sah, tetapi dihukumi makruh. Yang demikian itu karena bertentangan
denganperintahuntuk mengumumkannya. " Pendapat senada juga dikemukakan
oleh Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ibnu Mundzir. Sementara yang
memakruhkannya adalah Umar. ‘Urwah, Sya’abi dan Nafi’. Menurut Imam
Malik, akad nikah seperti itu batal.
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Malik mengenai seorang laki-laki yang
menikahi seorang wanita dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki. Lalu
orang tersebut meminta kedua saksi itu untuk merahasiakannya. Mengenai
permintaan itu, ia (Imam Malik) menjawab: "Kedua mempelai harus
dipisah¬kan dengan bercerai dan tidak diperbolehkan untuk menikah lagi.
Sedang bagi si wanita boleh mengambil maharnya jika telah menerima dan
bagi kedua saksi tersebut tidak mendapatkan sanksi apa-apa."
CeraiCerai (talak) adalah melepaskan ikatan pernikahan. Hal ini diperbolehkan dalam ajaran Islam dengan pertimbangan: apabila di antara suami istri sudah tidak ada kecocokan lagi untuk mempertahankan perkawinan karena berbagai....
Cerai (talak) adalah
melepaskan ikatan pernikahan. Hal ini diperbolehkan dalam ajaran Islam dengan pertimbangan: apabila di antara suami istri sudah
tidak ada kecocokan lagi untuk mempertahankan perkawinan karena berbagai
alasan, dan karena dipandang dapat membawa kebaikan pada keduanya. Sebab, jika
sudah tidak ada lagi kecocokan dan kasih sayang di antara suami istri, dipaksa
untuk mempertahankan perkawinan, sama saja dengan memenjarakan mereka dalam
penderitaan.
Hukum Dan Kalimat Cerai
Sekalipun cerai diperbolehkan dalam Islam, namun bukan merupakan suatu jalan yang terpuji. Umar ra. mengemukakan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Barang halal yang sangat dibenci Allah SWT adalah perceraian." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Ditinjau dari segi kebaikan dan keburukannya, hukum cerai ada empat.
Talak yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya maksimal hanya tiga kali.
Tentu saja perkawinan si istri yang telah ditalak tiga dengan suami berikutnya, bukan perkawinan Sandiwara. Sebab selama ini ada wanita yang terlanjur ditalak tiga, lalu karena ingin kembali rujuk dengan suaminya ia menikah dengan lelaki lain sebatas untuk sandiwara (tanpa melakukan hubungan suami istri).
Hukum Dan Kalimat Cerai
Sekalipun cerai diperbolehkan dalam Islam, namun bukan merupakan suatu jalan yang terpuji. Umar ra. mengemukakan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Barang halal yang sangat dibenci Allah SWT adalah perceraian." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Ditinjau dari segi kebaikan dan keburukannya, hukum cerai ada empat.
- Wajib, jika perselisihan suami istri oleh hakim yang menanganinya dipandang tidak mungkin didamaikan lagi.
- Sunnat, jika suami tidak mampu lagi menafkahi istri atau si istri tidak dapat menjaga kehormatannya. Seorang pria mengadu kepada Nabi Muhammad Rosulullah saw. "Istriku tidak menolak uluran tangan orang (pria) lain yang menyentuhnya." Rosulullah saw menjawab:Hendaklah engkau ceraikan saja wanita itu."(Al Hadis).
- Haram, jika menjatuhkan cerai saat istri sedang haid atau sewaktu suci dan telah dicampurinya waktu suci itu.
- Makruh, yakni hukum asai cerai.
Kalimat untuk menjatuhkan cerai ada dua macam.
Perbedaan kedua kalimat itu, adalah kalimat sharih (terang- terangan) walau diucapkan tanpa niat menceraikan, berarti sudah jatuh cerai. Dengan demikian suami istri itu sudah tidak boleh bercampur lagi. Sedangkan kalimat kinayah (sindiran) jika tidak disertai dengan niat menceraikan berarti belum jatuh talak.
- Sharih (terang-terangan), yakni kalimat cerai yang diucapkan secara terbuka. Misalnya, "saya ceraikan kamu".
- Kinayah (sindiran), kalimat cerai yang diucapkan secara samar. Misalnya, "Pulanglah ke rumah keluargamu." Atau, "pergilah dari sini."
Talak yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya maksimal hanya tiga kali.
- Talak pertama, suami-istri masih boleh rujuk sebelum habis masa iddahnya
- Talak kedua, suami-istri masih boleh rujuk sebelum habis masa iddahnya. Firman Allah SWT. "Talak (yang dapat dirujuk) itu ha kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk kembali) dengan bail atau melepaskan (menceraikan) dengan baik." (QS. 2/ ATBaqoroh: 229).
- Talak tiga, boleh rujuk kembali dengan catatan si wanita telah nikah dengan orang lain lalu bercerai dengan suami keduanya itu. Firman Allah SWT. "Kemudian jika dia menceraikannya (seteli talak tiga) maka wanita itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada doa bagi keduanya (suami pertm dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akm dapat menjalankan hukum-hukum Allah." (QS. 2/Al-Baqoroh:230).
Tentu saja perkawinan si istri yang telah ditalak tiga dengan suami berikutnya, bukan perkawinan Sandiwara. Sebab selama ini ada wanita yang terlanjur ditalak tiga, lalu karena ingin kembali rujuk dengan suaminya ia menikah dengan lelaki lain sebatas untuk sandiwara (tanpa melakukan hubungan suami istri).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar