Sabtu, 15 Desember 2012

konsep ekonomi islam


Metodologi Ekonomi Islam

Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya, di lain pihak.
Konsep Ekonomi IslamSetiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya, di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka di mana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk kepentingan konsumsi.
PenjelasanValiditas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya, kesesuaiannya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh. Karena itu suatu sistem ekonomi tidak dapat diharapkan untuk menyiapkan, misalnya, komposisi khusus barang-barang ekspor di negara tertentu, fungsi produksi yang praktis bermanfaat atau secara matematik dapat dikelola, atau rumusan mengenai bagaimana memperbesar fungsi-fungsi tuntutan individual dalam tuntutan yang berskala nasional. Komponen-komponen teori ekonomi seperti itu tidak dapat diawali dengan sistem tersebut karena komponen-komponen itu timbul dalam aplikasi praktis sistem tersebut dalam tatanan berbagai kondisi yang ada. Dengan melihat kondisi-kondisi ini dan dalam kerangka sistem ekonomi yang berlakulah unsur-unsur teori ekonomi seperti bisa dikembangkan, diuji dan diteorisasikan.
Sebagai konsekuensinya suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian, perbedaan yang nyata, seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini. Sebagai akibatnya, beberapa buku yang dikatakan membahas "sistem ekonomi Islam" sebenarnya hanya berbicara tentang latar belakang hukumnya saja, atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai kajian sisterm ekonomi, sama sebagaimana kajian terhadap tatabahasa yang hanya sedikit menyinggung pembentukan keterampilan berpidato saja
Selain itu, suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari Hukum (Fiqh) Islam yang membahas hukum dagang (Fiqhul-Mu'malat) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut belakangan mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat Muslim Ekonomi Islam dibatasi oleh Hukum Dagang Islam, tetapi ini bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian ekonomi itu. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak pengaruh, atau bahkan lebih banyak, terhadap cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem hukumnya.
Tidak adanya pembedaan antara Fiqhul-Mu'amalat dan ekonomi Islam seperti itu merupakan sumber lain dari kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam. Beberapa buah buku menggunakan alat-alat analisis fiqh dalam ekonomi, sedangkan buku-buku lain mengkaji ekonomi Islam dari sudut pandang fiqh. Sebagai contoh, teori konsumsi kadang-kadang berubah menjadi pernyataan kembali hukum Islam mengenai beberapa jenis makanan dan minuman, bukan kajian mengenai perilaku konsumen terhadap sejum1ah barang konsumsi yang tersedia, dan teori produksi diperkecil maknanya sebagai kajian tentang hak pemilikan dalam Islam yang tidak difokuskan pada perilaku perusahaan sebagai unit produktif.
Hal lain yang tidak menguntungkan dalam membahas ekonomi Islam dalam peristilahan Fiqhul-Mu'amalat adalah bahwa ancangan seperti itu, pada dasarnya, terpecah-pecah dan kehilangan keterkaitan menyeluruhnya dengan teori ekonomi. Barangkali hal inilah yang menjadi sebab tidak adanya teori moneter makroekonomik dalam semua literatur mengenai ekonomi Islam.
Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan-kecenderungan jangka-jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi (itu sendiri).
Baru sedikit yang dilakukan untuk menampilkan sejarah pemikiran ekonomi Islam. Hal ini tidak menguntungkan karena sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin politik muslim sudah mengembangkan gagasan-gagasan ekonomik mereka sedemikian rupa sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai para pencetus ekonomi Islam yang sebenarnya. Penelitian diperlukan untuk menampilkan pemikiran ekonomi dari para pemikir besar Islam seperti Abu Yusuf (meninggal th. 182 H), Yahya bin Adam (meninggal th. 303 H), al-Gazali (meninggal tahun 505 H), Ibnu Rusyd (meninggal th. 595 H), al-'Izz bin 'Abd al-Salam (meninggal th. 660 H), al-Farabi (meninggal th. 339 H), Ibnu Taimiyyah (meninggal th. 728 H), al-Maqrizi (meninggal th. 845 H), Ibnu Khaldun (meninggal th. 808 H), dan banyak lainnya lagi.
Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer, di satu pihak dan di pihak lain, akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.
Kajian terhadap perkembangan historik ekonomi Islam itu merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Ini memiliki arti sangat penting, terutama dalam bidang kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Namun peringatan terhadap adanya dua bahaya perlu dikemukakan bila aspek historik Islam itu diteliti. Pertama, bahaya kejumbuhan antara teori dengan aplikasi-aplikasinya, dan kedua, pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya pertama muncul ketika para pemikir ekonomi Muslim modem tidak membedakan secara jelas antara konsepsi Islam dan aplikasi-aplikasi historiknya.
Hal ini tampak sangat jelas dalam cakupan keuangan negara, karena hampir semua buku mengenai keuangan negara yang ada dalam perpustakaan Islam kontemporer menganggap sumber-sumber negara sebagai sumber-sumber yang ada pada masa negara Islam besar, sejak masa 'Umar bin Khattab sampai masa Harun al-Rasyid. Sedikit sekali perhatian diberikan kepada pengembangan teori tentang keuangan negara yang didasarkan atas Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Hal ini tercermin dalam penampilan histori keuangan negara dalam Islam yang sedikit sekali memberikan ksempatan untuk menguji aplikabilitasnya pada saat sekarang karena karena adanya perubahan suasana di semua negara Islam.
Bahaya kedua muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan untuk mengancang Al-Qur'an dan Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik.
Rancangan historik dalam kajian terhadap ekonomi Islam itu kadang-kadang diterapkan dalam kaitannya dengan masyarakat-masyarakat Muslim masa sekarang. Hal ini tercermin dalam ekonomi Islam yang hanya berbicara tentang harta dan penghasilan, konsumsi yang tidak semestinya dan sebagainya, bukan mengenai penanggulangan mekanisme makroekonomik dari sistem ekonomi Islam itu. Tidak diragukan bahwa beberapa persoalan di negara-negara Islam sekarang ternyata serius dan penting, dan bahwa persoalan-persoalan tersebut seharusnya dibahas dalam kerangka ekonomi Islam itu, namun bila sistem ekonomi Islam itu merupakan sistem yang pokok bahasannya, misalnya, nasionalisasi industri dan penataan pemilikan tanah (land reform), lantas apa yang akan terjadi setelah semuanya ini berhasil diraih? Apa yang bisa dilakukan oleh sistem seperti, katakanlah, untuk industri yang telah dirasionalisasi atau tanah yang (pemilikannya) telah ditata kembali itu?
Batas-batas antara sistem ekonomi Islam yang bisa diaplikasikan terhadap perekonomian yang sehat dengan pertumbuhan yang normal, di satu pihak, dan tindakan-tindakan darurat yang dapat diambil oleh para pejabat penanggungjawab bidang perekonomian untuk membahas masalah sementara seperti peran ketidakadilan dalam distribusi barang-barang, atau kemiskinan, di pihak lain, seharusnya diberi demarkasi (juga). Tanpa demarkasi seperti itu, ekonomi Islam akan menjadi kajian parsial terhadap gejala-gejala peralihan yang akan menimbulkan pemborosan setelah pembangunan negara-negara Islam itu, ini tidak berarti bahwa persoalan-persoalan seperti persoalan-persoalan pembangunan itu tidak boleh mendapatkan perhatian langsung dari para ahli ekonomi Islam itu, melainkan harus diartikan bahwa persoalan-persoalan ini harus ditanggulangi dalam kerangka teori umum ekonomi Islam yang mempertahankan relevansinya dengan semua tahap pembangunan ekonomi dan suasana politik.
Diversifikasi literatur Islam modem mengenai ekonomi timbul dari kesulitan inheren dalam jenis kajian ini. Sama sekali tidak ada "Teori Ekonomi Islam" yang tertulis dalam pengertiannya yang ketat. Selain itu, bahkan mungkin banyak orang berkeberatan dengan digunakannya istilah "Teori Ekonomi" itu dengan alasan bahwa bila suatu teori adalah penafsiran terhadap beberapa aspek realitas, berarti bisa terdapat banyak teori yang bernafaskan nilai-nilai filosofik Islam dalam penafsiran terhadap realitas ekonomi. Ketidakjelasan diantara kedua pandangan ini telah mendorong sejumlah penulis untuk menampilkan pandangan yang sangat sempit mengenai filsafat ekonomi Islam dan membingkainya dengan cara sangat terbatas yang tidak sesuai dengan implikasi-implikasi teoretik nilai-nilai filsafat ini. (Upaya pertama untuk menetapkan demarkasi batas-batas antara filsafat ekonomi dalam Islam dan teori-teori ekonomi dari para penulis bidang ekonomi dilakukan oleh as-Sadr pada tahun 1964. Dia diikuti oleh M.N. Siddiqi pada tahun 1971.
Kesulitan tipe kedua dihadapi tidak hanya oleh penelitian di bidang ekonomi Islam tetapi oleh semua kajian yang membahas berbagai aspek sosial Islam, ia muncul dari hakikat sumber-sumber hukum Islam itu sendiri. Al-Qur'an dan Sunnah Al-Qur'an merupakan firman (kalam) Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi kehidupan perilaku manusia, Kitab Suci itu tidak tersusun dalam bagian dan bab, yang masing-masing membahas, kehidupan manusia seperti Hukum, Politik, Ekonomi dan sebagainya, dan juga tidak diberi judul-judul di dapat menemukan berbagai aplikasi dan aturan yang bersumber daripadanya. Kadang-kadang ia merupakan rincian yang tepat, misalnya, dalam kaitannya hukum waris. Dalam hal-hal lain ia hanya menyinggung pemecahan secara garis besar, yang menunjukkan bahwa seharusnya para 'ulama' dan pemikir Muslim dapat mengembangkan dan melengkapi rincian-rincian yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip ini dan dengan memperhatikan situasi yang ada.
Mengancang dan mengembangkan teori-teori semacam itu adalah tugas para sarjana Muslim, dan hasil-hasil yang diperoleh dari upaya-upaya ini tidak dapat dikaitkan baik dengan Allah maupun dengan Al-Qur'an. Yang dapat dikemukakan mengenai hal ini bahwa ia adalah pandangan (sarjana-sarjana) Muslim tetapi bukan pandangan Islam, karena berbagai akibat dari situasi mereka terhadap teoretisasi tersebut tidak dapat diingkari. Selain itu mereka tidak memiliki otoritas untuk menafsirkannya.
Memang tidak ada seorang pun memiliki hak istimewa seperti itu. Sumber kedua, yaitu Sunnah, adalah pemahaman dan aplikasi Nabi terhadap Al-Qur'an. Kesulitan yang ditampilkan oleh sumber ini timbul dari kenyataan bahwa Nabi ketika itu, pada saat yang sama, adalah juga kepala negara. Karena itu sangat sulit untuk dibedakan antara sikap-sikapnya terhadap ajaran-ajaran Al-Qur'an yang bersifat permanen dan mengikat untuk selama-lamanya, dan terhadap aturan-aturan yang terkait dengan berbagai situasi di masa hayatnya, disamping kesulitan tersebut di atas. Upaya pertama yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengangkat rincian-rincian yang rumit megenai bidang ekonomi dari dalam Al-Qur'an dan Sunnah itu ke dalam teori dilakukan pada tahun 1964, lagi-lagi, oleh as-Sadr.
Pernyataan terakhir dalam bagian metodologi ini akan membahas alat-alat analisis. Literatur Islam yang ada sekarang nengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode. Pertama adalah metode deduksi dan kedua metode pemikiran etrospektif. Metode pertama dikembangkan oleh para ahli hukum Islam, Fl-lqalta', dan sangat dikenal di kalangan mereka, diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak penulis Muslim kontemporer yang merasakan tekanan: kemiskinan dan keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat Muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan Petunjuk Tuhan.
Kajian dalam pembahasan ini mempergunakan kedua metode tersebut. Namun perlu disadari bahwa kedua metode ini pada dasarnya diaplikasikan dalam kajian terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam tetapi hanya sedikit bisa diaplikasikan dalam kajian terhadap makroekonomi dan keseimbangan umum dalam sistem ekonomi semacam itu, atau bahkan dalam kajian terhadap teori-teori konsumsi dan matematik tertentu. Karena itu kajian ini akan mengaplikasikan alat-alat analisis matematik yang dikenal dalam teori ekonomi modern kapan saja dirasa perlu atau dianggap bermanfaat. Memang sebenarnya metode yang digunakan para Fuqaha pun sebenarnya bersifat matematik dalam semangat dan kecenderungannya.
Kebebasan Ekonomik
Kebebasan ekonomik adalah tiang pertama dalam struktur pasaar Islami, yang didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, diantaranya prinsip tanggung jawab dan kebebasan.
Konsep Ekonomi IslamKebebasan ekonomik adalah tiang pertama dalam struktur pasaar Islami, yang didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, diantaranya prinsip tanggung jawab dan kebebasan.
PenjelasanKebebasan ekonomik adalah tiang pertama dalam struktur pasar Islami. Kebebasan ini didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, sebagaimana tertuang berikut ini.

1. Tanggung Jawab dan Kebebasan
Prinsip tanggung jawab individu begitu mendasar dalam ajaran-ajaran Islam sehingga ia ditekankan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan dalam banyak Hadits Nabi. Prinsip tanggung jawab individu ini disebut dalam banyak konteks dan peristiwa dalam sumber-sumber Islam.
    1. Setiap orang akan diadili sendiri-sendiri di Hari Kiamat kelak, dan bahkan ini pun akan dialami oleh para nabi dan keluarga-keluarga yang paling mereka cintai sekalipun. Tidak ada satu cara pun bagi seseorang untuk melenyapkan perbuatan-perbuatan jahatnya kecuali dengan memohon ampunan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik (amal salih).
    2. Sama sekali tidak ada konsep Dosa Warisan, (dan karena itu) tidak ada seorang pun bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan orang lain, dan tidak pembaptisan dan juga tidak ada bangsa pilihan (Tuhan).
    3. Setiap individu mempunyai hubungan langsung dengan Allah. Tidak ada perantara sama sekali. Nabi SAW sendiri hanyalah seorang utusan (Rasul) atau kendaraan untuk melewatkan petunjuk Allah yang diwahyukan untuk kepentingan umat manusia. Ampunan harus diminta secara langsung dari Allah.Tidak ada seorang pun memiliki otoritas sekecil apa pun untuk memberikan keputusannya atas nama-Nya. Justru bertentangan dengan semangat ajaran Islam bila (orang) mengemukakan "pengakuan dosa" kepada seseorang penjabat agama.
    4. Setiap individu mempunyai hak penuh untuk berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) untuk kepentingannya sendiri. Dia harus menggunakan hak ini, karena ia merupakan landasan untuk melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah. Belajar adalah proses rasional, dan ia tidak dapat diperoleh melalui praktek- praktek spiritual atau meditasi. Mengajarkan agama adalah prosedur ilmiah yang tidak berisi harapan agar dia (si pengajar) mendapatkan hak istimewa atau kekuasaan terhadap orang yang diajarnya.
    5. Islam telah sempurna dengan berakhirnya wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW hingga saat wafatnya. Tidak ada seorang pun dibenarkan menambah, mengurangi atau mengubahnya, walau hanya satu pernyataan saja. Setiap pemahaman deduktif dari, penafsiran atau penerapan suatu teks Al-Qur'an atau Sunnah hanyalah sekedar pemahaman perorangan yang boleh jadi berbeda-beda, dan tidak ada seorang pun diantara mereka berhak memaksakan berlakunya pemahamannya itu kepada orang lain.
Tanggung jawab Muslim yang sempurna ini tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang luas, yang dimulai dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang paling tegas yang perlu diambilnya. Karena kebebasan itu merupakan kembaran dari tanggung jawab, maka bila yang disebut belakangan itu semakin ditekankan berarti pada saat yang sama yang disebut pertama pun mesti mendapatkan tekanan lebih besar.
2. Sejarah Kebebasan Ekonomi di Kalangan Umat Muslim
Sepanjang sejarah umat Muslim, kebebasan ekonomi sudah dijamin dengan berbagai tradisi masyarakat dan dengan sistem hukumnya. Nabi SAW tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat harga-harga itu membumbung tinggi. Ketidaksediaannya itu didasarkan atas prinsip tawar-menawar secara sukarela dalam perdagangan yang tidak memungkinkan pemaksaan cara-cara tertentu agar penjual menjual barang-barang mereka dengan harga lebih rendah daripada harga pasar selama perubahan-perubahan harga itu disebabkan oleh faktor-faktor nyata dalam permintaan dan penawaran yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan monopolik maupun monopsonik. Lebih dari itu, Nabi SAW berusaha sungguh-sungguh untuk memperkecil kesenjangan informasi di pasar ketika beliau menolak gagasan untuk menerima para produsen pertanian sebelum mereka sampai di pasar dan mengetahui benar apa yang ada di sana. Beliau sangat tegas dalam mengatasi masalah penipuan dan monopoli (dalam perdagangan), sehingga beliau menyamakan kedua dengan dosa-dosa paling besar dan kekafiran.
Setelah Nabi SAW dan selama berabad-abad dalam sejarah Islam, umat Muslim mempertahankan prinsip kebebasan yang senantiasa dilaksanakan ini. Konsep pengendalian perilaku moral di pasar itu dilaksanakan oleh Nabi sendiri. Selama beberapa abad pertama Hijriyyah, sejumlah pakar menulis buku-buku tentang peranan dan kewajiban-kewajiban pengendali pasar, atau al-Muhtasib itu. Tema yang terkandung dalam semua tulisan ini adalah pelestarian kebebasan di pasar dan penghapusan unsur-unsur monopolistik. Prinsip kebebasan tersebut dipertahankan oleh banyak qâdî (hakim) Muslim yang bahkan sampai mengancam sistem hukum itu sendiri dengan mencabut hak untuk ikut campur dalam kasus monopoli. Hal ini benar-benar telah mendorong Ibnu Taimiyyah menulis bukunya, Al-Hisbah fi al-lslâm, untuk menunjukkan bahwa kebebasan ekonomik individual harus dibatasi dalam hal-hal serupa itu, bahkan termasuk pembatasan-pembatasan itu adalah penentuan harga barang-barang dan jasa.
Dengan latar belakang ini, dalam rangka mengemukakan definisi kebebasan ekonomi yang dimaksudnya, Ibnu Taimiyyah secara meyakinkan dapat memberikan pernyataan tegas bahwa individu-individu sepenuhnya berhak menyimpan harta milik mereka, dan tidak ada seorang pun berhak mengambil semua atau sebagian daripadanya tanpa persetujuan mereka secara bebas, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana mereka diwajibkan melepaskan hak-hak tersebut.
Maulânâ Abul A'lâ Maudûdî menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, individulah yang penting dan bukan komunitas, masyarakat atau bangsa. Dia berpendapat bahwa individu tidak dimaksudkan untuk melayani masyarakat, melainkan masyarakatlah yang benar-benar harus melayani individu. Tidak ada satu komunitas atau bangsa pun bertanggung jawab di depan Allah sebagai kelompok; setiap anggota masyarakat bertanggung jawab di depan-Nya secara individual. Alasan yang bebas dan tertinggi dari adanya sistem sosial adalah kesejahteraan dan kebahagiaan individu, bukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dari sinilah ukuran yang benar dari suatu sistem sosial yang baik adalah batas yang membantu para anggota masyarakat untuk mengembangkan kepribadian mereka dan meningkatkan kemampuan personal mereka.
Berdasarkan hal itulah Islam tidak menyetujui ada organisasi sosial dan rencana kesejahteraan sosial apa pun bila ia menekan individu-individu dan mengikat mereka begitu kuat dengan otoritas sosial, sehingga kepribadian mereka yang bebas akan hilang dan sebagian besar diantara mereka menjadi sekedar mesin atau alat yang berada di tangan orang-orang lain yang berjumlah kecil.
Dalam bukunya, The Economic Enterprise in Islam, M.N. Siddîqî menyatakan bahwa Islam memberikan kepercayaan sangat besar kepada mekanisme pasar. Beberapa implikasi dari doktrin kebebasan ekonomi dalam Islam tersebut, dalam kaitannya dengan pasar, dapat dibaca dalam pikiran-pikiran Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:
  1. orang-orang bebas masuk dan meninggalkan pasar.
  2. Tingkat informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan (komoditas) adalah perlu. Ibnu Taimiyyah meneliti beberapa kontrak (perjanjian) di mana salah satu pihak yang terlibat tidak bertindak sesuai dengan persyaratan ini, sementara dia memberikan kepada pihak lainnya kesempatan untuk meninjau kembali kontrak itu. Dia juga menganggapnya sebagai tanggung jawab pemerintah (al-Muhtasib) untuk memperbaiki situasi tersebut.
  3. Unsur-unsur monopolistik harus dilenyapkan dari pasar. Ibnu Taimiyyah tidak membolehkan berbagai koalisi profesional, baik yang terdiri dari kelompok-kelompok penjual maupun pembeli. Dia membolehkan al-Muhtasib untuk ikut campur tangan dan menentukan harga barang-barang sejenis kapan saja unsur-unsur monopolistik menampilkan diri di pasar.
  4. Dalam batas kebebasan ini, dia mengakui berbagai peningkatan permintaan dan penawaran yang disebabkan oleh harga-harga tersebut. Dia menyetujui penaikan harga-harga yang disebabkan olehnya, karena "memaksa orang untuk menjual barang dengan harga yang ditentukan sama dengan pemaksaan tanpa hak," dan meskipun si penjual seharusnya tidak dipaksa untuk kehilangan laba tetapi pada saat yang sama dia seharusnya tidak diperbolehkan merugikan orang lain.
  5. Setiap penyimpangan dari pelaksanaan kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu, penimbangan yang tidak tepat, dan niat buruk dikecam oleh para penulis Muslim, demikian juga memproduksi dan memperdagangkan barang-barang dagangan (komoditas) yang tercela karena tidak baik dari alasan-alasan kesehatan ataupun moral sesuai dengan norma-norma Qur'ânî, seperti minuman-minuman beralkohol, minuman-minuman keras, pelacuran dan perjudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



Komentar